Sunday, April 15, 2007

tugas3

DPR: Kasus Iran Bisa Jadikan RI Pemimpin Negara Berkembang


Jakarta (ANTARA News) - Sikap RI yang mendesak PBB untuk tidak memberi sanksi (tambahan) kepada Iran terkait ujicoba nuklir merupakan langkah sangat tepat, dan bisa menjadikan Indonesia negara yang dipercaya, disegani serta nantinya dapat menjadi pemimpin negara-negara berkembang.

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar (FPG), Hajriyanto Y Thohari, mengatakan hal itu di Jakarta, Jumat, sehubungan dengan resolusi PBB mengenai bakal diberikannya tambahan sanksi terhadap Iran, karena terus melakukan pengayakan uranian bagi kepentingan pengembangan energi nuklir.

"Sikap RI di PBB itu sudah tepat dan benar. Sikap RI dalam isu nuklir Iran memang harus tegas dan jelas, yakni menolak sanksi PBB terhadap Iran," tandas Hajriyanto Thohari.

Selama ini, lanjutnya, PBB sudah terlalu didikte oleh negara-negara Barat, terutama AS yang tidak ingin ada kekuatan lain mengganggu hegemoninya.

"Yah, mereka tidak mau ada yang mengganggu hegemoni mereka atas dunia yang mereka pegang selama ini. Karenanya, RI harus berperan untuk menjadikan PBB sebagai badan internasional yang kuat dan berwibawa yang tidak dijadikan tunggangan negara-negara Barat tertentu," ujar Hajriyanto Thohari.

Sikap RI semacam ini, menurutnya, harus terus dipertahankan secara konsisten.

"Jika konsistensi dan komitmen jelas seperti ini tetap dipertahankan, RI akan bisa menjadi pemimpin negara-negara berkembang yang disegani dan dipercaya. Selain itu, RI akan bisa menjadi representasi negara-negara berkembang yang selama ini dirugikan terus oleh tata dunia internasional yang tidak adil," tambah Hajriyanto Y Thohari.(*)

Copyright © 2007 ANTARA

tugas,,tugas,,tugas,,kedua

Kasus Timor Tak Akan Dibawa ke Mahkamah Internasional
Senin, 05 Desember 2005 | 01:26 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Dibukanya dokumen yang berkaitan dengan invasi Indonesia ke Timor Leste menepis kemungkinan bahwa kasus pelanggaran hak asasi manusia di wilayah itu akan dibawa ke Mahkamah Internasional.

"Duta Besar Amerika Serikat telah bertemu dengan anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Mereka menyatakan dukungannya kepada Indonesia," ujar Ketua Komisi Kebenaran dari Indonesia, Benjamin Mangkoedilaga, kepada Tempo.

Amerika, menurut Benjamin, akan mendukug langkah yang dikerjakan dan diperjuangkan oleh Komisi Kebenaran di Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Di situ (PBB), posisi AS kan sebagai pengambil keputusan," ujar Benjamin.

Mengenai kompensasi yang diminta oleh Presiden Timor Leste Xanana Gusmao kepada Amerika, Inggris, Prancis, dan Australia, Benjamin menganggapnya sebagai keuntungan bagi Indonesia. "Berarti bukan Indonesia saja yang diminta pertanggungjawaban," ujar Benjamin.

Benjamin juga menganggap pernyataan Xanana ini sangat berani. Xanana di depan parlemen Timor Leste meminta kompensasi kepada negara-negara Barat yang dianggap ikut bertanggung jawab dalam invasi Indonesia ke Timor Leste.

Komisi, kata Benjamin, sedang meneliti dokumen yang baru dibuka itu. Berdasarkan perkembangan ini pula, Komisi akan melakukan pertemuan dengan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM dan kejaksaan pada 13 dan 17 Desember di Jakarta. Fanny Febiana

tugas,,tugas,,tugas,,pertama

KASUS HAM ACEH BERPELUANG KE TRIBUNAL INTERNATIONAL

BANDA ACEH, Radio Nikoya-FM, (Selasa, 14/3/2000).
Baru satu kasus dari ratusan kasus pelanggaran HAM pasca DOM Aceh yang akan
digelar pada peradilan koneksitas, yaitu kasus pembantaian pimpinan
pesantren Tengku Bantaqiah beserta muridnya di Desa Beutong Ateuh, Kab. Aceh
Barat, semua direncanakan bulan Februari 2000 hingga kini ternyata mengalami
banyak hambatan sehingga jadwalnya terus mundur hingga April 2000 mendatang,
padahal dibelakangnya masih ada 7.727 kasus pelanggaran HAM Aceh semasa
diberlakukan DOM (1989-1998) dan ratusan kasus pasca DOM lainnya yang
menanti untuk segera diselesaikan, sementara Undang-Undang HAM belum
disahkan.

Melihat hal itu, banyak kalangan di Aceh merasa pesimis akan keberhasilan
untuk menyeret para pelaku kejahatan kemanusiaan di pengadilan, oleh karena
itu perlu di upayakan cara-cara lain untuk dapat menyelesaikan persoalan
kemanusiaan ini sebagai inti penyelesaian konflik di Aceh secara menyeluruh
ke Tribunal Internasional.

Munir. SH, Koordinator Kontras Jakarta, kepada Radio Nikoya-FM, Selasa
(14/3/2000) di Banda Aceh, menuturkan tentang peluang kasus pelanggaran HAM
di Aceh dapat dibawa ke Tribunal Internasional, sebab kasus Aceh adalah
konflik internal yang berbeda dengan kasus Timtim yang merupakan konflik
antar negara, ia mengatakan, "memperhatikan kasus konflik internal yang
terjadi di Rwanda dan Kamboja, kalau internasional melihat di Aceh telah
terjadi pelanggaran HAM terberat, kemudian ada negara-negara yang mengajukan
klaim kepada Dewan Keamanan PBB melalui Komisi HAM PBB, itu harus dibuat
Tribunal Internasional, maka Indonesia dalam soal Aceh bisa kena. Lalu
berdasarkan Konfensi Jenewa 1949, pasal 8, disebutkan, kalau disuatu negara
orang sudah hukum tetapi menggunakan pidana biasa terhadap kejahatan
kemanusiaan, Internasional tetap bisa menghukum, atau misalnya orang-orang
itu sudah dihukum pakai KUHP dan kalau internasional memandang perlu
dibentuk Tribunal Internasional, maka Indonesia tetap kena, dan peradilan
Indonesia tidak bisa digunakan untuk membuat alasan bahwa sudah disidangkan
di Indonesia, tetapi kasus Aceh memang belum sampai di tingkat agenda
internasional semacam itu, namun normatif mekanisme internasional
memungkinkan untuk itu, hanya soal politik internasional yang belum
memberikan perhatian yang cukup pada kasus kejahatan kemanusiaan di Aceh",
kata Munir.

Munir menambahkan, "rakyat Aceh tak perlu berbuat apa-apa untuk mencapai
Tribunal Internasional, tetapi justru pemerintah Indonesia harus menghitung,
bahwa proses-proses yang ada di Aceh sekarang secara internasional bisa di
intervensi, makanya dari pada Indonesia nanti di uber-uber lagi seperti
Timtim dalam konteks hak asasinya, lebih baik sadar dirilah, untuk
menghargai rasa keadilan sendiri, kasus Aceh ini dibongkar dengan baik",
tuturnya.

Sementara itu dilaporkan, puluhan NGO Hak Asasi Manusia Internasional yang
tergabung dalam SCHRA (Support Committee for Human Right in Aceh, dilaporkan
sedang berjuang untuk memasukkan kembali isu kejahatan kemanusiaan yang
terjadi di Aceh agar menjadi agenda pembahasan dalam Sidang Komisi Hak Asasi
Manusia PBB, pertengahan Maret - April 2000 di Jenewa. LSM internasional itu
antara lain seperti, Non Violence Amerika, Human Right Wacth, Asia Human
Right Commision, Tapol London serta beberapa lembaga dari negara-negara Asia
lainnya.

SOMAKA JAKARTA, KAMPANYE DI AS.

Disisi lain kampanye kejahatan HAM di Aceh juga semakin gencar dilakukan
saat ini, setelah Aguswandi BR dari Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR
Aceh) yang mengelilingi Amerika dan negara-negara Eropa, kini giliran
aktivis mahasiswa dari SOMAKA Jakarta (Solidaritas Mahasiswa Untuk Kasus
Aceh) yang diwakili oleh, Fajran Zain, Koordinator SOMAKA dan beberapa staff
nya untuk melakukan kampanye kasus Aceh ke beberapa kampus di Amerika.

Ruslan R. Public Relation Division of SOMAKA di Ciputat Jakarta, dalam
suratnya kepada redaksi Radio Nikoya-FM, Selasa (14/3/2000), menyebutkan,
"tanggal 16 Maret ini, wakil SOMAKA akan melakukan orasi mengenai Aceh di
kampus Harvard dan Yale University. Kemarin kita juga melakukan pertemuan
dengan Asia Pasific Committee for Peace and Justice di Washington, Miriam A.
Young, The Executive Director, serta melakukan audiensi ke kantornya ETAN
(East Timor Action Networking) untuk bertemu dengan Lynn Fredrikson,
Washinton Refresentative, dan melakukan pembicaraan dengan Michael A. Beer,
Director dari Non Violence International.

Pada saat di Washington DC, Fajran juga melakukan pertemuan dengan sebuah
NGO society/participatory "Civicus" dengan Laurie Regelbrugge, Chief
Operating
Officer 'n General Manager serta dengan Kumi Daidoo, Secretary General
CIVICUS, berbagi banyak hal tentang hak kaum minoritas (minority rights).
Kemudian juga melakukan audiensi dengan pejabat negara Amerika, Mr. Alexis
Ludwig dan Judith Ann Bird dan dua
staff Amerika lainnya. Menurut keterangan Fajran yang kami terima, bagi
Amerika, Aceh adalah isu baru yang akan menjadi agenda khusus dalam laporan
tahunan politik luar negeri mereka.
Setelah itu SOMAKA juga akan bertemu David W Yang (Senior Coordinator for
Democracy Promotion Bureau of Democracy, human Right and Labour) dan Lisa N.
Kaplan dari International Affairs officer", kata Ruslan R.

Public Relation Division of SOMAKA Jakarta itu, memandang pentingnya semua
pertemuan-pertemuan itu dilakukan oleh SOMAKA, sebab keberhasilan Timor,
versi ETAN dan APCJP-adalah dimulai dengan merubah kebijakan politik luar
negeri dan pemerintahan AS terhadap
perkembangan politik suatu negara. Keberangkatan Fajran Zain, Koordinator
SOMAKA ke Amerika itu dalam rangka program kunjungan Pemerintah AS dalam
tema "democracy dan civil society", yang kebetulan Kedutaan Besar Amerika
memberikan rekomendasi kepada SOMAKA,
untuk berangkat ke Amerika. Kampanye itu sendiri di rencanakan menghabiskan
waktu 2 bulan, dari New York, SOMAKA merencanakan bergerak ke Minnesota,
Arizona, Illimois dan Sanransisco. (Tim